Senin, 30 Januari 2012

KEADILAN ‘SANDAL JEPIT’

Dalam sebuah tatanan pemerintahan yang ideal hendaknya memposisikan utama persoalan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Para pemerintah mempunyai kesadaran tinggi akan pentingnya terwujudnya masyarakat yang sejahtera lagi makmur. Keadilan menjadi simbol untuk mencapai hajat tersebut. Tidak adanya penindasan terhadap rakyat kecil yang sudah terjepit dalam persoalan hidup. Penelantaran akan nasib rakyat miskin takkan pernah terjadi. Para penguasa tidak berlomba-lomba untuk menghiasi diri dengan kemewahan-kemewahan, namun berlomba-lomba untuk memberikan pelayanan yang baik terhadap rakyatnya. Kondisi seperti akan mewujdkan keselarasan hidup antara rakyat dan para penguasa.

Tidak akan heran ketika para penguasa berpergian sendirian tanpa ada pengawal di sisinya. Akan lebih meyenangkan lagi, ketika penguasa berbelanja ke pasar tradisional. Bahkan, penguasa mengenakan pakaian layaknya rakyat biasa, bukan mengenakan pakaian kebesarannya. Indah sekali negeri tersebut. Para penguasa dan rakyatnya dapat hidup berdampingan dengan selaras. Inilah negeri yang madani. Negeri peradaban yang didalamnya keadilan menjadi hal terpenting, kesejahteraan rakyat menjadi pokok pembahasan utama, kemakmuran rakyat menjadi sebuah orientasi besar.

Indonesia merupakan Negara makmur yang tongkat dan batu saja ketika dilemparkan saja akan menjadi tanaman. Betapa elok negeri ini dengan menawarkan keindahan yang tiada tara. Betapa kaya negeri ini dengan limpahan karunia alam yang mengggiurkan. Betapa bangga penduduk negeri ini, ketika negerinya diliputi kekayaan yang melimpah. Benarlah kata pepatah lama, gemah ripah loh jinawi. Inilah Indonesia negeri yang kaya nan makmur.

Namun, seiring dengan berbagai macam potensi negeri yang besar tersebut, belum menjadikan Indonesia Negara yang diperhitungkan dalam kancah dunia. Kemiskinan masih meraja lela. Masih banyak rakyat yang terlantar, sedangkan penguasanya semakin ‘besar’. Masih sering terdengarnya penindasan terhadap rakyat kecil. Keadilan membuat sakit rakyat yang semakin terjepit, namun membuat nikmat para penguasa yang sering ‘mengutit’ (baca:korupsi).

Sebut saja Nenek Minah (55) lantaran hanya mencuri tiga buah Kakao yang harganya pun tak lebih dari Rp 10.000 mendapatkan vonis persidangan 1,5 tahun pada 2009 silam. Bahkan. yang membuat hati teriris, nenek yang sudah tua renta dan buta huruf itu harus meminjam uang sejumlah Rp 30.000 untuk biaya transportasi dari rumah ke pengadilan yang memang jaraknya cukup jauh. Dimanakah keadilan di negeri ini? Nenek Minah memang telah berlaku salah, karena telah mencuri. Akan tetapi, apakah setimpal ganjaran hukuman yang diberikan kepada nenek yang sudah lanjut usia tersebut.

Yang paling anyar, kasus pencurian sandal jepit yang menjadikan AAL (15), seorang pelajar SMKN 3 Palu, Sulawesi Tengah, sebagai pesakitan di hadapan meja hijau. Ia dituduh telah mencuri sandal jepit milik anggota Brimob Polda Sulteng, Briptu Ahmad Rusdi Harahap. Lantaran hanya gara-gara sandal jepit butut tersebut, AAL terancam hukuman kurungan maksimal lima tahun penjara. Ada kejanggalan dalam proses hukum atas AAL. Ia didakwa karena mencuri sandal Eiger nomor 43. Namun, bukti yang diajukan adalah sandal merk Ando nomor 9,5.

Tak ada satu saksi pun selama persidangan yang melihat langsung apakah sandal merk itu memang diambil AAL di depan kamar Rusdi. Rusdi yakin sandal yang diajukan sebagai barang bukti itu adalah miliknya. Karena, katanya, ia memiliki kontak batin dengan sandal itu. Saat hakim meminta mencoba, tampak jelas sandal Ando itu kekecilan untuk kaki Rusdi yang besar. AAL memang dibebaskan dari hukuman dan dikembalikan kepada orangtuanya. Namun, majelis hakim memutus AAL bersalah karena mencuri barang milik orang lain.

Nampak jelas, dari kasus Nenek Minah dan AAL bahwa hukuman yang diberikan kepada keduanya merupakan proses hukum yang mati dari tujuan hukum itu sendiri. Hukum hanya mengikuti aturan formal saja tanpa mempertimbangkan subtansi dan hati nurani. Sosiolog dari Universitas Indonesia, Imam Prasodjo (Kompas.com, 5/1/2012) menyatakan bahwa para penegak hukum seperti Jaksa, Polisi dan Hakim telah melakukan kesesatan yang kolektif dengan memmberikan ancaman 5 tahun dan vonis 1,5 tahun tersebut. Meskipun banyak protes dari masyarakat, mereka masih juga memproses dan memutuskan sesuatu secara tidak sedikitpun ada kesadaran dan evaluasi, imbuh beliau.

Hal senada diungkapkan oleh Sosiolog Soetandyo Wignjosoebroto, Hakim kini dinilainya terlalu legalistik terhadap putusan bersalah rakyat kecil. Hakim tidak mampu memahami arti dan makna sekaligus kearifan yang terkandung dalam aturan hukum. Undang-undang itu merupakan dead letter law (hukum yang mati). Hukum menjadi aktif dan dinamik melalui kata hati dan tafsir hakim. Kalau putusannya itu aneh, itu bukan salah undang-undang, melainkan hakim. Hakimnya harus pandai memberi putusan yang bisa diterima. Walaupun, seyogyanya mencuri merupakan perbuatan melanggar hukum, dan hukum harus ditegakkan. Namun, apakah hal tersebut sudah sesuai dengan rasa keadilan di masyarakat?

Sementara, para pejabat dan ‘maling’ berdasi putih mencuri uang rakyat yang nilainya tak sebanding dengan kakao ataupun sandal jepit, mendapatkan perlakuan yang ramah dan terhormat dari aparat. Para ‘maling’ tersebut dapat melanggeng bebas dari hukuman yang terlalu berat. Bahkan ada yang dapat mangkir dari panggilan pengadilan dengan alasan sakita yang tekadang dibuat-buat.

Benarlah kata Guru Besar Hukum Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana yang menyatakan bahwa kini hukum hanya tajam jika kebawah dan tumpul jika berhadapan dengan kalangan atas. Hendaknya pemerintah memiliki kepekaan yang besar terhadap ketidakadilan yang terus dialami rakyat . Beliau menambahlkan, Hakim terlalu legalistik jika pihak yang lemah menjadi terdakwa. Untuk kasus korupsi, hakim justru tak menggunakan kacamata kuda, tetapi seolah-olah memahami tuduhan korupsi tak terbukti dengan melihat konteks.

Pada kasus kecil seperti Nenek Minah dan AAL hendaknya ada semacam ‘pengecualian’ yang mengedepankan hati nurani. Bukan dalam artian mereka lepas dari jerat hukum. Akan tetapi, harus mempertimbangkan substansi dan hati nurani, bukan hanya mengikuti aturan formal hukum saja. Arist Merdeka Sirait, Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak menyarankan agar aparat penegak hukum menggunakan restorative justice (keadilan restoratif) sebagai penyelesaian alternatif dalam sejumlah kasus kecil seperti yang menimpa AAL maupun Nenek Minah.

Keadilan restoratif adalah konsep pemidanaan yang mengedepankan pemulihan kerugian yang dialami korban dan pelaku, dibanding menjatuhkan hukuman penjara bagi pelaku. Hal itu dimaksudkan agar penyelesaian kasus-kasus kecil tak perlu sampai ke pengadilan, tetapi diselesaikan cukup dengan mediasi.

Di permulaan tahun yang baru ini, pemerintah hendaknya mengadakan evaluasi terhadap kinerja jajaran yang ada di bawahnya, baik dari penegak hukum maupun pelaksana hukum tersebut. Bila keadaan seperti ini terus berlanjut, akan menimbulkan rasa ketidakpercayaan yang berlanjut kepada pemerintah. Karena rakyat merasakan sendiri apa yang telah menjadi ketetapan maupun kebijakan dari pemerintah. Adanya proses evaluasi yang kontinuitas ini terhadap personal dalam lembaga-lembaga Negara yang terkait dalam hubungan dengan rakyat, akan sedikitnya mengurangi penyimpangan yang dilakukan.

Bukankah mencegah lebih baik daripada mengobati? Ini sudah menjadi penyakit yang sangat kronis. Belum ada obat ampuh yang dapat menyembuhkannya, selain adanya kesadaran tinggi dari tiap aparatur Negara. Kesadaran akan pentingnya keadilan dalam tiap lini kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Karena sejatinya, manusia itu tempat khilaf dan salah, sehingga perlu disadarkan kembali agar kehilafan dan kesalahan yang diperbuat tidak semakin parah dan berlanjut.

Pemimpin negeri ini yang bertindak selaku dokter, mempunyai wewenang untuk memberikan pencegahan terhadap penyakit yang diderita para aparatur Negara tersebut. Ia punya kuasa untuk memberikan serum anti-korupsi terhadap para aparaturnya. Pemberian injeksi anti-ketidakadilan terhadap para personal lembaga hukum dan peradilan pun dapat ia berikan. Ia adalah dokter yang tahu apa sebaiknya dia berikan kepada para pasiennya (baca: aparatur Negara).

Oleh karena itu, diperlukan adanya pembaruan terhadap kebijakan-kebijakan yang ditetapkan, terutama yang mengedepankan urusan rakyat. Pemimpin negeri ini harus memiliki kepekaan yang besar terhadap hal-hal yang bersentuhan dengan rakyat baik yang menyangkut kesejahteraan maupun kemakmuran rakyat. Selanjutnya, kepekaan atas ketidakadilan yang kerapkali menimpa rakyat merupakan tahapan awal untuk mensukseskan apa yang dinamakan sejahtera dan makmur. Niscaya, rakyat akan memberikan harapan yang besar pada pemimpin negeri ini untuk membawa negeri ini ke arah yang lebih gemilang. Tidak akan lagi adanya ancaman hukuman 5 tahun penjara terhadap kasus serupa dengan ‘sandal jepit’. Tidak akan adanya lagi vonis 1,5 tahun terhadap kasus yang serupa dengan ‘kakao’.

Di negeri ini yang dalam butir-butir dasar negaranya disebut menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan perilaku berkeadilan ini. Jangan lagi keadilan hukum di negeri ini hanya sebatas keadilan ‘sandal jepit’, keadilan yang menjepit rakyat kecil, yang hidupnya sudah sempit malah dibuat makin menjerit. Jangan lagi rakyatnya diperlakukan dalam perbedaan kasta besar dan kecil. Jangan lagi adanya diskriminasi penegakan hukum. Keras dan tegas untuk rakyat kecil, tapi loyo dan bagai agar-agar bagi kalangan atas. Semoga...


Oleh: Andhi Octadinata

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More