Selasa, 14 April 2009

AKHLAQ ISLAMI

MUQADIMAH
Ketika Islam belum datang sebagai sebuah pedoman hidup bagi umat
manusia, bangsa Arab sangat dikenal dengan kejahiliyannya. Kejahiliyahan
tersebut akan sangat terasa benar, manakala kita mencoba melihatnya dari sisi
moralitas (baca; akhlak). Keburukan apakah yang dapat menandingi dengan moral
seorang ayah, yang dengan tega dan rasa jijik, mengubur hidup-hidup anaknya
sendiri. Kejelekan apa yang melebihi dari pada terjadinya perzinaan pada seorang
istri, atas perintah sang suaminya sendiri? Namun ternyata hal tersebut dianggap
merupakan sesuatu yang sangat wajar pada zamannya.
Di sinilah, Islam datang merubah kondisi yang sangat bejat, menjadi
berputar ke arah yang posistif seratus delapan puluh derajat. Karena sesungguhnya
Islam datang, memang membawa misi untuk merubah kondisi jahiliyah yang ada,
menjadi kondisi Islami. Adapun moralitas, adalah merupakan implementasi dari
kondisi mental seseorang atau masyarakat pada suatu waktu tertentu. Baik
buruknya moral seseorang, atau moral suatu bangsa, sangat terkait dengan mental
orang atau bangsa tersebut. Mengenai misi ini, Rasulullah SAW pernah
mengatakan:
Da r i A b u H u r a i r a h r a , R a s u l u l l a h S A W b e r s a b d a : “ B a h wa s a n y a aku diutus adalah untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak. (HR. Ahmad dan al-Bazar).
Sebagai seorang muslim, kitapun memiliki kewajiban untuk senantiasa
meningkatkan dan memperbaiki kualitas moral yang terdapat dalam diri kita. Dan
dalam Islam, akhlak memiliki dimensi yang luas dan universal. Mencakup akhlak
terhadap apapun dan siapapun yang ada di sekitar kita. Termasuk akhlak terhadap
lingkungan, terhadap alam, terhadap hewan, dan lain sebagainya. Namun dalam
pembahasan akhlak kita, akan terfokus pada hal-hal yang sangat urgen.
Diantaranya adalah; akhlak terhadap Allah SWT, akhlak seorang muslim terhadap
dirinya sendiri, akhlak terhadap orang tuanya, akhlak terhadap keluarga & kerabat,
akhlak terhadap saudara seiman, dan akhlak terhadap tetangga & masyarakatnya.
Akhlak Seorang Muslim Terhadap Allah SWT
Setiap muslim meyakini, bahwa Allah adalah sumber segala sumber dalam
kehidupannya. Allah adalah Pencipta dirinya, pencipta jagad raya dengan segala
isinya, Allah adalah pengatur alam semesta yang demikian luasnya. Allah adalah
pemberi hidayah dan pedoman hidup dalam kehidupan manusia, dan lain
sebagainya. Sehingga manakala hal seperti ini mengakar dalam diri setiap muslim,
maka akan terimplementasikan dalam realita bahwa Allah lah yang pertama kali
harus dijadikan prioritas dalam berakhlak.
Jika kita perhatikan, akhlak terhadap Allah ini merupakan pondasi atau dasar
dalam berakhlak terhadap siapapun yang ada di muka bumi ini. Jika seseorang
tidak memiliki akhlak positif terhadap Allah, maka ia tidak akan mungkin memiliki
akhlak positif terhadap siapapun. Demikian pula sebaliknya, jika ia memiliki akhlak
yang karimah terhadap Allah, maka ini merupakan pintu gerbang untuk menuju
kesempurnaan akhlak terhadap orang lain. Diantara akhlak terhadap Allah SWT
adalah:
1. Taat terhadap perintah-perintah-Nya.
Hal pertama yang harus dilakukan seorang muslim dalam beretika kepada Allah
SWT, adalah dengan mentaati segala perintah-perintah-Nya. Sebab bagaimana
mungkin ia tidak mentaati-Nya, padahal Allah lah yang telah memberikan
segala-galanya pada dirinya. Allah berfirman (QS. 4 : 65):
“ Ma k a d e mi R a b -mu, mereka pada hakekatnya tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemdian mrekea
tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap ptutusan yang kamu berikan, dan
me r e k a me n e r i ma d e n g a n s e p e n u h n y a . ”
Karena taat kepada Allah merupakan konsekwensi keimanan seoran muslim
kepada Allah SWT. Tanpa adanya ketaatan, maka ini merupakan salah satu
indikasi tidak adanya keimanan. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW juga
menguatkan makna ayat di atas:
“ R a s u l u l l a h S A W b e r s a b d a , “ T i d a k b e r i ma n s a l a h s e o r a n g d i a n t a r a k a l i a n , h i n g g a h a wa nafsunya (keinginannya) mengikuti apa yang telah datang dariku (Al-Qu r ’ a n d a n sunnah). (HR. Abi Ashim al-syaibani).

2. Memiliki rasa tanggung jawab atas amanah yang diembankan padanya.
Etika kedua yang harus dilakukan seorang muslim kepada Allah SWT, adalah
memiliki rasa tanggung jawab atas amanah yang diberikan padanya. Karena
pada hakekatnya, kehidupan inipun merupakan amanah dari Allah SWT. Oleh
karenanya, seorang mukmin senantiasa meyakini, apapun yang Allah berikan
padanya, maka itu merupakan amanah yang kelak akan dimintai pertanggung
jawaban dari Allah. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW pernah bersabda:
Da r i i b n u U ma r r a , R a s u l u l l a h S A W b e r s a b d a , ‘ S e t i a p k a l i a n a d a l a h p e mi mp i n , d a n setiap kalian bertanggung jawab terhadap apa yang dipimpinnya. Seorang amir (presiden/ imam/ ketua) atas manusia, merupakan pemimpin, dan ia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang suami merupakan pemimpin bagi keluarganya, dan ia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang wanita juga merupakan pemimpin atas rumah keluarganya dan juga anak-anaknya, dan ia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang hamba adalah pemimpin atas harta tuannya, dan ia bertanggung jawab terhadap apa yang dipimpinnya. Dan setiap kalian adalah pemimpin, dan bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. (HR.Muslim)


3. Ridha terhadap ketentuan Allah SWT.
Etika berikutnya yang harus dilakukan seorang muslim terhadap Allah SWT,
adalah ridha terhadap segala ketentuan yang telah Allah berikan pada dirinya.
Seperti ketika ia dilahirkan baik oleh keluarga yang berada maupun oleh
keluarga yang tidak mampu, bentuk fisik yang Allah berikan padanya, atau hal-
hal lainnya. Karena pada hakekatnya, sikap seorang muslim senantiasa yakin
(baca; tsiqah) terhadap apapun yang Allah berikan pada dirinya. Baik yang
berupa kebaikan, atau berupa keburukan. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW
bersabda:
Rasulullah SAW bersabda, sungguh mempesona perkara orang beriman. Karena segala
urusannya adalah dipandang baik bagi dirinya. Jika ia mendapatkan kebaikan, ia bersyukur, karena ia tahu bahwa hal tersebut merupakan hal terbaik bagi dirinya. Dan
jika ia tertimpa musibah, ia bersabar, karena ia tahu bahwa hal tersebut merupakan hal
terbaik bagi dirinya. (HR. Bukhari)
Apalagi terkadang sebagai seorang manusia, pengetahuan atau pandangan kita
terhadap sesuatu sangat terbatas. Sehingga bisa jadi, sesuatu yang kita anggap
baik justru buruk, sementara sesuatu yang dipandang buruk ternyata malah
memiliki kebaikan bagi diri kita.

4. Senantiasa bertaubat kepada-Nya.
Sebagai seorang manusia biasa, kita juga tidak akan pernah luput dari sifat lalai
dan lupa. Karena hal ini memang merupakan tabiat manusia. Oleh karena
i t u l a h , e t i k a k i t a k e p a d a A l l a h , ma n a k a l a s e d a n g t e r j e r u mu s d a l a m ‘ k e l u p a a n ’
sehingga berbuat kemaksiatan kepada-Nya adalah dengan segera bertaubat
kepada Allah SWT. Dalam Al-Qu r ’ a n A l l a h b e r f i r ma n ( QS . 3 : 1 3 5)
Dan juga orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri
mereka sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa
mereka. Dan siapakah yang dapat mengampuni dosa selain Allah? dan mereka tidak
meneruskan perbuatan kejinya itu sedang mereka mengetahui.

5. Obsesinya adalah keridhaan ilahi.
Seseorang yang benar-benar beriman kepada Allah SWT, akan memiliki obsesi
dan orientasi dalam segala aktivitasnya, hanya kepada Allah SWT. Dia tidak
beramal dan beraktivitas untuk mencari keridhaan atau pujian atau apapun dari
manusia. Bahkan terkadang, untuk mencapai keridhaan Allah tersebut,
‘ t e r p a k a s a ’ h a r u s me n d a p a t k a n ‘ k e t i d a k s u k a a n ’ d a r i p a r a ma n u s i a l a i n n y a .
Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW pernah menggambarkan kepada kita:
Rasulullah SAW bersabda, Barang siapa yang mencari keridhaan Allah de n g a n ‘ a d a n y a ’ kemurkaan manusia, maka Allah akan memberikan keridhaan manusia juga. Dan barang siapa yang mencari keridhaan manusia dengan cara kemurkaan Allah, maka Allah akan mewakilkan kebencian-Nya pada manusia. (HR. Tirmidzi, Al-Qa d h a ’ I d a n i b n u Asakir).
Dan hal seperti ini sekaligus merupakan bukti keimanan yang terdapat dalam
dirinya. Karena orang yang tidak memiliki kesungguhan iman, otientasi yang
dicarinya tentulah hanya keridhaan manusia. Ia tidak akan perduli, apakah Allah
menyukai tindakannya atau tidak. Yang penting ia dipuji oleh oran lain.

6. Merealisasikan ibadah kepada-Nya.
Etika atau akhlak berikutnya yang harus dilakukan seorang muslim terhadap
Allah SWT adalah merealisasikan segala ibadah kepada Allah SWT. Baik ibadah
yang bersifat mahdhah, ataupun ibadah yang ghairu mahdhah. Karena pada
hakekatnya, seluruh aktiivitas sehari-hari adalah ibadah kepada Allah SWT.
Dalam Al-Qu r ’ a n A l l a h b e r b e r f i r ma n ( QS . 5 1 : 5 6 ) :
“ Da n t i d a k l a h A k u me nciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah kepada-K u . ”
Oleh karenanya, segala aktivitas, gerak gerik, kehidupan sosial dan lain
sebagainya merupakan ibadah yang dilakukan seorang muslim terhadap Allah.
Sehingga ibadah tidak hanya yang memiliki skup mahdhah saja, seperti shalat,
puasa haji dan sebagainya. Perealisasian ibadah yang paling penting untuk
dilakukan pada saat ini adalah beraktivitas dalam rangkaian tujuan untuk dapat
menerakpak hukum Allah di muka bumi ini. Sehingga Islam menjadi pedoman
hidup yang direalisasikan oleh masyarakat Islam pada khususnya dan juga oleh
masyarakat dunia pada umumnya.

7. Banyak membaca al-Qu r ’ a n .
Etika dan akhlak berikutnya yang harus dilakukan seorang muslim terhadap
Allah adalah dengan memperbanyak membaca dan mentadaburi ayat-ayat,
yang merupakan firman-firman-Nya. Seseeorang yang mencintai sesuatu,
tentulah ia akan banyak dan sering menyebutnya. Demikian juga dengan
mukmin, yang mencintai Allah SWT, tentulah ia akan selalu menyebut-nyebut
Asma-Nya dan juga senantiasa akan membaca firman-firman-Nya. Apalagi
menakala kita mengetahui keutamaan membaca Al-Qu r ’ a n y a n g d mi k i a n
besxarnya. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW mengatakan kepada kita:
R a s u l u l l a h S A W b e r s a b d a , ‘ B a c a l a h A l -Qu r ’ a n , k a r e n a s e s u n g g u h n y a A l -Qu r ’ a n i t u d a p a t memberikan syafaat di hari kiamat kepada para pembacanya. (HR. Muslim)
Adapun bagi mereka-mereka yang belum bisa atau belum lancar dalam
membacanya, maka hendaknya ia senantiasa mempelajarinya hingga dapat
membacanya dengan baik. Kalaupun seseorang harus terbata-bata dalam
membaca Al-Qu r ’ a n t e r s e b u t , ma k a A l l a h p u n a k a n me mb e r i k a n p a h ala dua kali
lipat bagi dirinya. Dalam hadits lain, Rasulullah SAW bersabda:
R a s u l u l l a h S A W b e r s a b d a , Or a n g ( mu ’ mi n ) y a n g me mb a c a A l -Qu r ’ a n d a n i a l a n c a r dalam membacanya, maka ia akan bersama para malaikat yang mulia lagi suci. Adapun o r a n g mu ’ mi n y a n g me mb a c a A l-Qu r ’ a n , s e d a n g i a t e r b a t a -bata dalam membacanya, lagi berat (dalam mengucapkan huruf-hurufnya), ia akan mendapatkan pahala dua kali lipat. (Mutafaqun Alaih)

AKHLAK SEORANG MUSLIM TERHADAP DIRINYA SENDIRI
Paling tidak, seorang muslim adalah pemimpin bagi dirinya sendiri. Siapapun dia, seorang muslim tentu akan dimintai pertanggung jawaban atas apa yang telah diperbuat terhadap dirinya sendiri. Oleh karena itulah, Islam memandang bahwa setiap muslim harus menunaikan etika dan akhlak yang baik terhadap dirinya sendiri, sebelum ia berakhlak yang baik terhadap orang lain. Dan ternyata hal ini sering dilalaikan oleh kebanyakan kaum muslimin. Secara garis besar, akhlak seorang muslim terhadap dirinya dibagi menjadi tiga bagian; terhadap fisiknya, terhadap akalnya dan terhadap hatinya. Karena memang setiap insan memiliki tiga komponen tersebut, dan kita dituntut untuk memberikan hak kita terhadap diri kita sendiri dalam ketiga unsur yang terdapat dalam dirinya tersebut:
1. TERHADAP FISIKNYA
Setiap insan, Allah berikan anugerah berupa fisik yang sempurna. Kesempurnaan fisik manusia ini, Allah katakan sendiri dalam Al-Qu r ’ a n (QS.95:4)
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.
Kesempurnaan fisik ini, merupakan sesuatu yang harus disyukuri. Karena Allah hanya memberikannya pada manusia. Adapun salah satu cara dalam mensyukurinya adalah dengan menunaikan hak yang harus diberikan pada fisik kita tersebut, yang sekaligus merefleksikan etika kita terhadap fisik kita sendiri.
Diantara hal tersebut adalah:
a. Seimbang dalam mengkonsumsi makanan.
Hak yang harus kita penuhi terhadap fisik kita adalah dengan memberikan makanan dan minuman yang baik dan sehat, sehingga fisik kita pun dapat tumbuh dan bekerja dengan baik dan sehat pula. Seorang muslim sangat menyadari hal ini, dan oleh karenanya ia tidak akan menkonsumsi makanan yang akan memberikan madharat terhadap dirinya tersebut. Dan termasuk dalam kategori yang memberikan mudharat adalah mengkonsumsi makanan secara berlebihan. Islam sendiri telah memberikan larangan kepada para pemeluknya untuk berlebihan dalam menkonsumsi makanan. Allah berfirman (QS. 7 : 31)
“ Ma k a n d a n mi n u ml a h k a l i a n , d a n j a n g a n l a h k a l i a n b e r l e b i h -lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-l e b i h a n . ”
Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bahkan memberikan rincian batasan dalam masalah mengkonsumsi makanan. Beliau mengatakan:
Janganlah seseorang itu mengisi perutnya sesuatu yang buruk baginya. Dan apabila tidak menyulitkan baginya hendaknya ia mengisi sepertiga untuk makanannya, sepertiga untuk minumannnya dan sepertiga lagi untuk dirinya. (HR. Ahmad & Turmudzi)

b. Membiasakan diri untuk berolah raga & hidup teratur.
Islam sangat menginginkan terciptanya kondisi yang baik dan teratur bagi
para pemeluknya. Bekerja teratur, makan teratur, tidur teratur, belajar
teratur dan juga berolah raga secara teratur. Sebagai contoh menyegerakan
t i d u r d a n j u g a me n y e g e r a k a n b a n g u n . T i d a k t i d u r b a ’ d a s u b u h , t i d a k t i d u r
b a ’ d a ashar dan lain sebagainya.
Di samping itu, Islam juga menganjurkan pada pemeluknya untuk menjaga
f i s i k d e n g a n me mb i a s a k a n d i r i b e r o l a h r a g a . A g a r d i r i s e o r a n g mu ’ mi n
menjadi kuat dan sehat. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW mengatakan
kepada kita:
S e o r a n g mu ’ mi n y a n g k u a t , l e b i h b a i k d a n l e b i h d i c i n t a i A l l a h d a r i p a d a s e o r a n g mu ’ mi n y a n g l e ma h . ( HR . Mu s l i m)
Jika fisik kaum muslimin kuat, tentulah hal ini akan dapat menggetarkan
para musuh-musuh Islam, yang tiada henti-hentinya membuat makar
terhadap agama Allah ini. Oleh karenanya kita melihat betapa Allah
memerintahkan kita untuk mempersiapkan kekuatan kita. Dan olah raga
merupakan salah satu cara untuk mempersiapkan kekuatan tersebut. Allah
berfirman (QS. 8 : 60)
Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang, yang dapat menggentarkan musuh Allah , musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya, sedang Allah mengetahuinya.

c. Tidak melakukan hal-hal yang memberikan madharat bagi fisik dan kesehatannya.
Terkadang manusia senang untuk melakukan hal-hal tertentu yang terlihat
menyenangkan dan mengenakkan meskipun hal tersebut akan menimbulkan
madharat terhadap dirinya sendiri. Diantara tersebut antara lain, berlebihan
dalam menkonsumsi kopi atau teh, tidur terlalu larut malam dan merokok.
Hal yang terakhir disebut (yaitu rokok) bahkan sudah seperti menjadi
“ k e b i a s a a n wa j i b ” b a g i o r a n g t e r t e n t u . S e me n t a r a j i k a d i l i h a t d a r i a s p e k s y a r ’ i n y a , r o k o k me r u p a k a n s e s u a t u y a n g me l a n g g a r s y a r ’ i d a n h u k u mn y a haram, kecuali menurut sebagian ulama di Indonesia yang cenderung berfatwa bahwa hukumnya adalah makruh. Hal ini bisa dimaklumi karena sebagaian besar ulama di Indonesia masih belum mampu meninggalkan kebiasaan rokoknya.
Terdapat beberapa tinjauan dalam menegaskan bahwa rokok secara hukum
adalah haram. Diantaranya adalah :
a). Merokok merusak kesehatan (Yadhurru Linafsih)
Semua orang sepakat, bahwa rokok akan memiliki dampak negatif
terhadap fisik manusia. Terlebih-lebih jika ditinjau dari segi ilmu
kesehatan atau kedokteran, rokok memiliki dampak yang begitu besar
dalam diri insan yang akan menyebabkan berbagai penyakit. Perokok
sendiri akan mengakui hal tersebut. Dan jika demikian, seseorang ketika
ia merokok berarti ia memberikan kemadharatan atau merusak bagi
dirinya sendiri. Sementara Allah SWT berfirman (QS. 4 : 29)
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”
b). Merokok mendzolimi orang lain (Dzalim)
Selain merusak atau merugikan terhadap diri sendiri, rokok juga dapat
merugikan atau mendzalimi orang lain yang tidak merokok. Sebab asap
rokok yang dihisap perokok tentu akan dikeluarkan lagi. Dan asap inilah
yang memiliki potensi untuk dihisap secara langsung melalui nafas orang
lain (baca; perokok pasif) yang berada di sekitarnya, yang bisa jadi akan
menimbulkan penyakit-penyakit tertentu. Jika hal ini terjadi, berarti
p e r o k o k ‘ me n d z l i mi ’ o r a n g l a i n y a n g t i d a k me r o k o k . Da n A l l a h s a n g a t
membenci orang-orang yang dzalim. Allah SWT berfirman (QS. 42 : 40)
"Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barangsiapa
mema`afkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim."
c). Merokok memiliki unsur menghambur-hamburkan harta (Tabdzir)
Selain dua tinjauan di atas, rokok juga mengandung unsur menghambur-
h a mb u r k a n u a n g ( b a c a ’ tabdzir). Hampir semua kalangan sepakat, bahwa
rokok merupakan salah satu bentuk perbuatan yang mubadzir, karena
banyak hal yang lebih bermanfaat dari pada digunakan untuk rokok,
seperti membantu fakir miskin, shadaqoh kepada kerabat, atau
digunakan untuk membeli makanan yang menambah kesehatan, seperti
susu, buah-buahan dan lain sebagainya. Dan jika merokok merupakan
salah satu perbuatan tabdzir, maka alangkah kerasnya Allah SWT
menegur orang-orang yang menghambur-hamburkan uang. Allah
berfirman (QS. 17 : 27 ) :
“ Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.”

d. Bersih fisik dan pakaian.
Etika seorang muslim terhadap dirinya yang berikutnya adalah
membersihkan fisik dan juga pakaiannya. Karena fisik kita memiliki hak
untuk dibersihkan dan memakai pakaian yang bersih. Dalam masalah bersih
fisik, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan:
a) Bersih mulut dan gigi.
Islam sangat menganjurkan kebersihan gigi dan mulut. Karena kedua hal
ini merupakan hal yang akan sangat berkaitan dengan orang lain. Ketika
gigi dan mulut kita tidak bersih bahkan bau, maka pasti akan memiliki
pengaruh negatif terhadap orang yang menjadi lawan bicaranya. Oleh
karena itulah, Rasulullah SAW mengatakan kepada kita:
“ S e k i r a n y a t i d a k me mb e r a t k a n b a g i u ma t k u , s u n g g u h a k a n a k u p e r i n t a h k a n mereka untuk bersiwak setia p k a l i h e n d a k s h a l a t .”(HR.Bukhari Mu s l i m) .
Bahkan dalam hadits lain, Rasulullah SAW menerangkan mengenai
dampak negatif yang ditimbulkan dari ketidak bersihan mulut dan gigi.
Beliau mengatakan:
R a s u l u l l a h S A W b e r s a b d a , “ B a r a n g s i a p a y a n g me ma k a n b a wa n g me r a h , b a wa n g putih dan yang sebangsa bawang, maka hendaknya mereka jangan mendekati mas j i d k a mi i n i . K a r e n a s e s u n g g u h n y a p a r a ma l a i k a t ‘ t e r g a n g g u ’ d e n g a n b a u n y a t e r s e b u t , s e b a g a i ma n a t e r g a n g g u n y a a n a k c u c u a d a m. ” ( H R . Mu s l i m)
b) Bersih rambut.
Selain mulut dan gigi, Islam juga menganjurkan kita agar senantiasa
membersihkan rambut. Karena rambut juga memiliki hak untuk
dibersihkan. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda:
Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah S A W b e r s a b d a , ‘ B a r a n g s i a p a y a n g me mi l i k i r a mb u t , ma k a h e n d a k l a h i a me mu l i a k a n r a mb u t n y a t e r s e b u t . ” ( H R . A b u Da u d )
Adapun cara untuk memuliakan rambut, diantaranya adalah dengan
senantiasa membersihkannya, menyisirnya yang rapi serta merawatnya.
Dalam sebuah riwayat Imam Malik, Rasulullah SAW suatu ketika sedang
berada dalam masjid. Kamudian tiba-tiba masuklah seorang pemuda
yang rambut dan jenggotnya acak-acakan. Kemudian Rasulullah SAW
memerintahkannya dengan isyarat agar ia membersihkan rambut dan
jenggotnya tersebut. Pemuda itupun kembali pulang, lalu kembali ke
masjid dalam keadaan rambut dan jenggotnya yang telah tersisir rapi.
Me l i h a t h a l t e r s e b u t R a s u l u l l a h S A W me n g a t a k a n , ‘ bukankah y a n g demikian lebih baik, dari pada seseorang datang ke masjid dalam kondisi
rambut dan jenggotnya acak-a c a k a n , s e p e r t i s y a i t a n ? ’
c) Bersih badan.
Hal ini terbukti dengan diperintahkannya kita untuk senantiasa
membersihkan diri kita dengan mandi. Dalam sebuah hadits, Rasulullah
SAW berasbda:
R a s u l u l l a h S A W b e r s a b d a , ‘ Ma n d i l a h k a l i a n p a d a h a r i j u m’ a t . B e r s i h k a n l a h k e p a l a kalian, meskipun tidak sedang junub. Dan sentuhlah dengan wewangian. (HR.Bukhari)
d) Bersih pakaian.
Jasad atau fisik kita, juga memiliki hak untuk mendapatkan pakaian yang
bersih dan sehat. Pakaian disamping untuk menutupi aurat, namun juga
menjaga dirinya dari penyakit-penyakit yang terkait dengan pakaian,
seperti gatal-gatal, jamur dan lain sebagainya.
Dari Jabir ra, beliau berkata, suatu ketika rasulullah SAW berziarah mengunjungi
kami. Lalu beliau melihat seseorang yang memakai pakaian yang kotor. Beliau
b e r k a t a , ‘ T i d a k k a h a d a y a n g d a p a t me n y u c i k a n b a j u n y a ? ’ ( H R . A h ma d d a n N a s a ’ I )
e) Berpenampilan rapi
Berpenampilan rapi juga merupakan salah satu sunnah Rasulullah SAW.
Sehingga seseorang akan terlihat terhormat di mata orang lain. Dalam
sebuah riwayat dikisahkan ketika Rasulullah SAW dan para sahabatnya
sedang berpergian mendatangi saudara mereka, Rasulullah SAW
mengatakan:
Kalian akan tiba mendatangi saudara kalian. Oleh karena itu, rapikanlah bawaan
kalian dan rapikanlah pula pakaian kalian. (HR. Abu Daud)
Berpenampilan rapi seperti ini juga merupakan sunnah para sahabat.
Bahkan terkadang ada diantara mereka yang membeli pakaian yang
relatif mahal, untuk kemudian digunakannya. Seperti Ibnu Abbas pernah
membeli pakaian seharga seribu dirham, lalu beliau mengenakannya.
( Hi l y a t u l A u l i a ’ I / 3 2 1 ) . De mi k i a n j u g a d e n g a n A b d u r r a h ma n b i n A u f , y a n g
pernah memakai burdah seharga lima ratus atau empat ratus (Thabaqat
I b n u S a ’ d I I I/131). Dan berpenampilan rapi serta mengenakan paiakan
yang baik, sesungguhnya tidak identik dengan kesombongan. Karena
kesombongan adalah mengingkari kebenaran dan meremehkan manusia.

2. TERHADAP AKALNYA.
Sebagaimana fisik, akal memiliki hak yang harus kita tunaikan. Akal juga
me mb u t u h k a n ‘ ma k a n a n ’ , s e b a g a i ma n a f i s i k me mb u t u h k a n n y a . Na mu n
kebutuhan tersebut jelas berbeda dengan kebutuhan fisik. Oleh karenanya, kita
perlu memberikan porsi kepada kita, sebagaimana kita memberikannya pada
fisik. Berikut adalah diantara hal-hal yang harus kita tunaikan terhadap akal
kita:
1). Menuntut ilmu sebagai kewajiban dan kemuliaan bagi setiap muslim
Hal pertama yang harus kita lakukan bagi setiap muslim terhadap akalnya
adalah dengan mengisinya dengan ilmu pengetahuan yang bermanfaat.
Karena disamping sebagai suatu kewajiban, belajar juga merupakan
kemuliaan tersendiri bagi dirinya. Karena Allah SWT senantiasa akan
mengangkat derajat orang-orang yang berilmu. Dalam Al-Qu r ’ a n A l l a h
mengatakan (QS. 35 : 28) :
“ B a h wa s a n y a o r a n g -orang yang takut kepada Allah, hanyalah para ulama (orang y a n g b e r i l mu ) ”
Kemuliaan ini juga telah terwujud, meskipun ketika ia baru dalam proses
belajar guna menuntut ilmu sendiri. Dalam sebuah riwayat dikisahkan:
“ S u a t u k e t i k a S a f wa n b i n A s s a l a l -Maradi mendatangi Rasulullah SAW yang sedang berada di masjid. Safwan berkata, Ya Rasulullah SAW, aku datang untuk menuntut i l mu . R a s u l u l l a h S A W me n j a wa b , ‘ s e l a ma t d a t a n g p e n u n t u t i l mu . S e s u n g g u h n y a orang yang menuntut ilmu akan dikelilingi oleh para malaikat dengan sayap-sayapnya. Kemudian mereka berbaris, sebagian berada di atas sebagian malaikat lainnya, hingga sampai ke langit dunia, karena kecintaan mereka terhadap penuntut i l mu . ” ( H R . A h ma d , T a b r a n i , I b n u H i b a n d a n A l -Hakim)
2). Menuntut ilmu hingga akhir hayat.
Terkadang manusia sering puas, manakala telah mencapai tingkatan tertentu
dalam dunia pendidikan. Padahal sesungguhnya dalam Islam bahwa proses
belajar mengajar merupakan proses yang tiada mengenal kata henti. Karena
pada hakekatnya semakin seseorang mendalami ilmu pengetahuan, maka
semakin pula ia merasa kurang dan kurang. Salah seorang salafuna shaleh
bernama ibnu Abi Gassan –sebagaimana diriwayatkan oleh ibnu Abdil Bar –
berkata :
Engkau akan tetap menjadi orang yang berilmu, manakala senantiasa masih mencari
ilmu. Namun apabila engkau telah merasa cukup, maka jadilah dirimu orang yang b o d o h . ”
3). Yang harus dipelajari oleh setiap muslim.
Minimal sekali, setiap muslim perlu mempelajari hal-hal yang memang
sangat urgen dalam kehidupannya. Menurut Dr. Muhammad Ali Al-Hasyimi
(1993 : 48), hal-hal yang harus dikuasai setiap muslim (yang bukan s p e s i a l i s a s i s y a r i ’ a h ) a d a l a h : A l -Qu r ’ a n , b a i k d a r i s e g i b a c a a n , t a j wi d d a n
tafsirnya; kemudian ilmu hadits; sirah dan sejarah para sahabat; fikih
terutama yang terkait dengan permasalahan kehidupan, dan lain sebagainya.
4). Spesialisasi.
Namun demikian, setiap muslim juga harus memiliki bidang spesialisasi yang
harus ditekuninya. Spesialisasi ini tidak harus bersifat ilmu syariah, namun
bisa juga dalam bidang-bidang lain, seperti ekonomi, tehnik, politik dan lain
sebagainya. Dalam sejarahnya, banyak diantara generasi awal kaum
muslimin yang memiliki spesialisasi dalam bidang tertentu.
5). Mempelajari bahasa asing
Mempelajari bahasa asing juga merupakan suatu kebutuhan yang penting.
Apalagi manakala bahsa tersebut merupakan bahasa resmi dalam ilmu
pengetahuan seperti bahasa Inggris dan bahasa Arab, untuk bidang
keislaman. Dalam sebuah riwayat dikisahkan:
Da r i Z a i d b i n T s a b i t r a , b a h wa R a s u l u l l a h S A W b e r k a t a p a d a n y a , ‘ Wa h a i Zaid, pelajarilah untukku tulisan Yahudi. Karena sesungguhnya aku demi Allah tidak yakin t u l i s a n k u p a d a o r a n g y a h u d i . ’ Z a i d me n g a t a k a n , l a l u aku mempelajarinya. Dan belum genap setengah bulan berlalu, aku telah dapat menguasai bahasa Yahudi. Aku senantiasa menulis surat Rasulullah SAW, ketika beliau ingin menujukannya pada mereka. Akupun membacakan surat mereka pada Rasulullah SAW. (HR. Turmudzi)

3. TERHADAP HATINYA/ RUHIYAHNYA.
Hati juga merupakan unsur penting dalam diri setiap insan, yang memiliki hak
yang sama sebagaimana akal dan fisik. Hati membutuhkan makanan
sebagaimana akal dan fisik membutuhkannya. Oleh karena itulan, setiap
muslim dituntut untuk memberikan porsi yang sama terhadap ruhiyahnya
sebagaimana ia telah memberikan pada fisik dan akalnya. Berikut adalah
beberapa hal yang patut direalisasikan seorang muslim terhadap ruhiyahnya.
a. Mengisi ruhiyahnya dengan ibadah.
Ibadah merupakan makanan pokok bagi hati dan ruhiyah kita. Bahkan
makanan ruhiyah ini tidak memiliki batasan kuantitas. Semakin banyak
ibadah seseorang, semakin ia rindu untuk melaksanakan ibadah lainnya.
Semakin ia dekat dengan Allah, semakin ia ingin lebih dekat dan dekat lagi.
Berbeda dengan makanan fisik, dimana paling banyak seseorang dapat
memakan dua sampai tiga piring untuk sekali makannya. Makanan ruhiyah
ini akan dapat membersihkan hati dan menentramkan jiwa. Seseorang yang
memiliki kualitas ibadah yang baik, ia akan senantiasa merasa tenang, sejuk
dan damai. Ibadah-ibadah yang harus dilakukannya, selain yang wajib
adalah yang sunnah. Diantaranya adalah, memperbanyak membaca dan
mentadaburi Al-Qu r ’ a n , s h a l a t l a i l , s h a d a q a h , me n d a t a n g i ma j l i s -majlis ilmu,
tafakur alam dan lain sebagainya.
b. Mengikatkan diri dengan tempat-tempat dan teman yang menambah keimanan.
Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW pernah mengatakan, bahwa kadar keislaman seseorang itu, seperti kadar keislaman teman akrabnya. Maka h e n d a k l a h s e s e o r a n g me mp e r h a t i k a n s i a p a y a n g a k a n d i j a d i k a n t e ma n n y a . ” (HR. Turmudzi & Abu Daud). Karena teman dan lingkungan memiliki pengaruh yang tidak sedikit terhadap kadar keimanan seseorang. Orang yang bergaul dengan teman-temannya yang shaleh, maka sedikit banyak akan mempengaruhi dirinya untuk menjadi orang shaleh. Demikian juga sebaliknya, jika ia berteman dengan mereka-mereka yang suka mabok-
mabokan, judi dan lain sebagainya, maka sedikit banyak ia akan terpengaruh
dan akan terbawa pada kebiasaan teman-temannya. Dalam Al-Qu r ’ a n A l l a h
berfirman (QS. 18 : 28) :
“ Da n b e r s a b a r l a h k a mu b e r s a ma -sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan menharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia; dan janganlah kamu mengkuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu me l e wa t i b a t a s . ”
c. Memperbanyak dzikir kepada Allah SWT.
Dzikir merupakan penguat ruhiyah seorang muslim yang sangat efektif.
Dzikir juga secara langsung dapat menentramkan jiwa pembacanya. Bahkan
dengan dzikir inilah, yang membedakan apakah hati seseorang itu hidup atau
mati. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda:
Da r i A b u Mu s a r a , R a s u l u l l a h S A W b e r s a b d a , ‘ P e r u mp a ma a n o r a n g y a n g b e r d z i k i r kepada Allah dengan orang yang tidak berdzikir adalah seumpama orang yang hidup dan orang yang mat i . ” ( H R . B u k h a r i )
Oleh karenanyalah, setiap muslim seyogyanya senantiasa membiasakan diri dengan dzikir kapanpun dan dimanapun mereka berada. Minimal sekali, dzikir-dzikir pengiring aktivitas tertentu, seperti dzikir hendak makan, sesudah makan, mau tidur, ke kamar mandi dan lain sebagainya. Dzikir akan lebih baik lagi manakala kita membiasakan membaca dzikir-dzikir pagi dan petang, sebagaimana yang sering dibaca oleh Rasulullah SAW.


AKHLAK SEORANG MUSLIM TERHADAP ORANG TUANYA
Orang tua merupakan orang yang paling dekat dan paling prioritas kita
perlakukan secara baik di dunia ini. Apalagi jika kita ingin mencoba untuk
mengupas satu persatu kebaikan mereka, tentulah kita akan sulit untuk
membalasnya. Oleh karena itulah, pengorbanan yang demikian besarnya dari orang
tua, hendaknya kita balas dengan akhlak dan etika yang baik terhadap mereka.
Jangan sampai sebagai seorang anak, kita durhaka kepada mereka. Apalagi jika
kita mengingat bahwa durhaka kepada orang tua merupakan dosa kedua terbesar
dalam Islam.
Berikut adalah berapa moralitas seorang muslim yang harus dipenuhi dalam
berinteraksi terhadap kedua orangtuanya:
1. Berbuat baik terhadap kedua orang tua.
Diantara sifat utama seorang muslim adalah berbuat baik terhadap kedua orang
tuanya. Karena berbakti terhadap orang tua merupakan salah satu sifat yang
paling diperhatikan oleh Islam. Hal ini terbukti bahwa Islam menjadikan durhaka
kepada kedua orang tua sebagai dosa terbesar setelah menyekututkan Allah.
Oleh karena itulah, setiap muslim mendapatkan perintah Allah untuk berbuat
baik kepada kedua orang tuanya. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman: (QS.4:36)
“ Dan sembahlah Allah , dan janganlah k a mu me mp e r s e k u t u k a n -Nya dengan sesuatu a p a p u n . Da n b e r b u a t b a i k l a k k e p a d a d u a o r a n g i b u b a p a k . . ”

2. Me n g e t a h u i ‘ k e u t a ma a n ’ me r e k a b e r d u a , s e r t a a p a y a n g wa j i b d i l a k u k a n terhadap mereka berdua.
Karena sesungguhnya Islam mengangkat derajat kedua orang tua pada tingkatan yang sangat tinggi dalam sejarah kehidupan manusia. Dimana Allah menjadikan berbuat baik terhadap mereka berdua sebagai derajat tertinggi dalam beribadah, setelah ibadah kepada Allah SWT.
Dalam Al-Qu r ’ a n A l l a h b e r f i r ma n ( QS . 1 7 : 2 3 )
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan
hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di atantara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan pada keduanya p e r k a t a a n “ a h ” d a n j a n g a n l a h k a mu me mb e n t a k me r r e k a d a n u c a p k a n l a k h k e p a d a mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan pneuh kesangayanga d a n u c a p k a n l a h , ‘ Wa h a i T u h a n k u , k a s i h i l a h me r e k a k e d u a n y a , s e b a g a i ma n a me r r e k a b e r d u a t e l a h me n d i d i k a k u wa k t u k e c i l . ”
Ayat di atas sangat jelas memberikan batasan kepada kita, bagaimana
seharusnya berinteraksi dengan kedua orang tua. Terutama pada saat-saat
mereka telah memasuki usia lanjut, yang terkadang segala tindakan mereka
menyebabkan munculnya kejengkelan terhadap mereka. Namun Islam dengan
tegas memberikan perintah untuk tetap harus berbuat baik terhadap mereka
berdua. Bahkan Islam melarang, wala u p u n u n t u k s e k e d a r me n g a t a k a n “ a h ” ,
kepada meraka berdua. Islam memerintahkan untuk menggunakan tutur kata
yang baik dan sopan kepada keduanya, apapun kondisinya.

3. Berbuat baik terhadap orang tua, meskipun mereka bukan muslim.
Bahkan sekiranya kita memiliki orang tua yang bukan muslim sekalipun, kita
tetap harus menunaikan kewajiban kita terhadap mereka berdua. Tetap harus
berbuat baik kepada mereka, harus bertutur kata yang sopan santun dan penuh
kelembutan dan juga harus tetap taat kepada mereka berdua, selagi tidak
dalam perbuatan melanggar perintah Allah SWT. Dalam sebuah riwayat
dikatakan:
Da r i A s ma ’ b i n t i A b u B a k a r r a , b e l i a u b e r k a t a , ‘ I b u k u d a t a n g k e p a d a k u , d a n d i a ma s i h seorang yang musyrik pada zaman Rasulullah SAW. Lalu ku bertanya pada Rasulullah S A W, ‘ Wa h a i R a s u l u l l a h S A W, i b u k u d a t a n g k e p a d a me n g h a r a p k a n s e s u a t u d a r i k u , apakah aku harus berbuat baik kepadanya, sedangkan ia masih musyrik? Rasulullah SAW menjawab, ya , b e r b u a t b a i k l a h k e p a d a n y a . ”(HR. Bukhari & Muslim)
Beginilah Islam memperlakukan orang tua, meskipun orang tua kita berada
dalam agama lain yang bukan Islam. Namun Islam memerintahkan untuk
berbuat baik kepadanya. Meskipun demikian, Islam tetap memiliki rambu-rambu
dalam berbuat baik kepada orang tua yang tidak muslim. Dalam Al-Qu r ’ a n A l l a h
mengatakan (QS. 31 : 15)
“ Da n j i k a keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengkuti keduanya, dan p e r g a u l i l a h k e d u a n y a d i d u n i a d e n g a n b a i k . ”

4. Tidak durhaka kepada kedua orang tuanya.
Selain memerintahkan untuk berbuat baik terhadap keduanya, Islam juga
melarang kita untuk berbuat durhaka kepada orang tua. Karena durhaka
terhadap orang tua merupakan dosa terbesar dalam Islam, setelah
menyekutukan Allah. Dalam sebuah riwayat disebutkan:
Dari Abu Bakrah N u f a i ’ b i n a l -H a r i t s , b a h wa R a s u l u l l a h S A W b e r s a b d a “ Ma u k a h k a l i a n a k u b e r i t a h u t e n t a n g d o s a y a n g p a l i n g b e s a r ? ” K a mi me n j a wa b , “ T e n t u wa h a i R a s u l u l l a h S A W. ” B e l i a u b e r k a t a ,“Menyekutukan Allah dan durhaka kepada kedua orang tua.” (Mutafaqun Alaih)

5. Mendahulukan ibu, kemudian ayah.
Bagaimanapun juga, seorang ibu lebih memiliki peran yang besar dalam diri
kita. Ibu kitalah yang telah mengandung kita selama sembilan bulan,
melahirkan kita dengan susah payah, membesarkan, merawat dan mendidik kita
hingga dewasa seperti saat ini. Meskipun dalam hal tersebut peran bapak juga
besar, namun tidak sedominan peranan ibu. Oleh karena itulah, Islam
menjadikan berbakti kepada ibu, lebih prioritas dibandingkan dengan berbakti
kepada bapak. Dalam sebuah riwayat dikemukakan:
Dari Abu Hurairah ra, bahwa seseorang datang kepada rasulullah SAW, lalu bertanya,
wahai rasulullah, siapakan orang yang paling berhak aku berbuat baik kepadanya?
Rasulullah menjawab, ibumu. Lalu ia bertanya lagi, kemudian siapa wahai rasulullah ?
Beliau menjawab ibumu. Kemudian ia bertanya lagi, lalu siapa wahai rasulullah? Beliau menjawab, ibumu. Lalu ia bertanya lagi, kemudian siapa wahai rasulullah? Beliau menjawab, bapakmu. (Mutafaqun Alaih)

6. Berbuat baik terhadap orang yang dicintai orang tua.
Sekiranya pun orang tua kita telah tiada, kita masih memiliki kewajiban
sekaligus menunjukkan etika kita kepada kedua orang tua kita, yaitu dengan
menyambung tali persaudaraan dengan orang-orang yang dicintai orang tua
kita, apakah famili, kerabat, teman dan lain sebagainya. Dalam sebuah riwayat
digambarkan:
Da r i i b n u U ma r r a , R a s u l u l l a h S A W b e r s a b d a , “ S e b a i k -baik perbuatan baik terhadap orang tua adalah mernyambung persaudaraan terhadap orang-orang yang cintai orang t u a n y a . ” ( H R . Mu s l i m)
Dalam riwayat lain, digambarkan :
Seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW, wahai Rasulullah, apakah masih tersisa
kewajibanku untuk berbuat baik kepada kedua orangtuaku, apakah aku masih harus
berbakti kepada keduanya? Rasulullah SAW menjawab, Ya. Ada empat hal yang harus
dilakukan: Mendoakan dan memohon ampunkan bagi keduanya, merealisasikan janji/
keinginan mereka berdua, memuliakan teman-teman mereka berdua dan menyambung
tali persaudaraan yang engkau tidak memiliki hubungan lagi dengan mereka kecuali
melalui kedua orang tuamu. (HR. Bukhari dalam Adab Mufrad)

7. Diantara cara berbuat baik terhadap orang tua.
Pada dasarnya, dalam kondisi apapun juga, kita diperintahkan oleh Allah dan
Rasulullah SAW untuk selalu berbuat baik kepada orang tua dan
menghormatinya dengan penghormatan yang mulia. Berikut merupakan
beberapa hal yang posisitf yang seyogyanya dilakukan seorang muslim:
a) Berdiri untuk menyambutnya, menakala mereka tiba di tempat kita berada.
b) Mencium tangan kedua orang tua, ketika akan pergi atau tiba dari orang tua.
c) Mengecilkan volume suara kita dihadapan orang tua kita, sebagai penghormatan terhadapnya.
d) Senantiasa berusaha menyenangkan hati keduanya.
e) Menggunakan cara dan bahasa yang lembut ketika berbicara pada keduanya.
f) Tidak menampakkan sikap negatif dari diri kita, manakala kita mendapatkan hal yang kurang menyenangkan yang berasal dari orang tua kita.

AKHLAK SEORANG MUSLIM TERHADAP KERABAT KELUARGANYA
Sebagai seorang muslim, kita juga memiliki etika sekaligus kewajiban
terhadap kerabat keluarga kita, dengan berbuat ihsan terhadap mereka. Karena
berbuat baik, dalam Islam tidak hanya ditujukan kepada orang tua saja. Namun
lebih jauh dari itu, terhadap seluruh kerabat keluarga kita secara keseluruhan.
Kerabat keluarga adalah mereka-mereka yang jika ditinjau dari segi nasab
keturunan, masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan kita. Baik yang satu ahli
waris, atau pun yang diluar ahli waris. Dan ternyata Islam memiliki perhatian yang
cukup besar dalam masalah hubungan seseorang dengan kerabat keluarganya.
Sebagai contoh, Allah berfirman dalam Al-Qu r ’ a n ( QS . 4 : 3 6 )
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Dan berbuat baiklah kepad dua orang ibu bapak, kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan
membangga0banggakan diri.
Dalam ayat di atas, Allah menjadikan urutan berbuat baik kepada kerabat, setelah
keharusan berbuat baik kepada kedua orang tua. Hal ini menunjukkan betapa
berbuat baik dan menyambung tali persaudaraan terhadap kerabat merupakan hal
yang sangat penting. Dalam hadits Rasulullah SAW mengatakan:
Dari Abu Ayub al-Anshari ra, bahwa seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW, wahai Rasulullah, beritahukan padaku akan amalan yang dapat memasukkan ku ke dalam surga. R a s u l u l l a h S A W me n j a wa b , ‘ Me n y e mb a h A l l a h d a n me n y e k u t u k a n n y a p a d a a p a p u n j u g a , menegakkan shalat, menunaikan zakat dan menyambung tali persaudaraan. (Mutafaqun Alaih)
Oleh karena itulah, seorang muslim juga harus memiliki akhlak yang baik terhadap
kerabat keluarganya, sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW. Diantara akhak
terhadap kerabat keluarga adalah :
1. Larangan untuk memutuskan tali persaudaraan.
Di samping memerintahkan untuk menyambung persaudaraan terhadap kerabat
keluarga, Islam juga secara tegas memberikan larangan untuk memutuskan tali
persaudaraan. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda:
R a s u l u l l a h S A W b e r s a b d a , ‘ T i d a k a k a n ma s u k surga orang yang memutuskan p e r s a u d a r a a n . ’ ( Mu t t a f a q u n A l a i h )
2. Seorang muslim menyambung tali persaudaraan berdasarkan petunjuk Islam.
Karena seorang muslim yang baik, ia akan senantiasa menyambung tali
persaudaraan terhadap siapapun, apalagi terhadap mereka yang memiliki
hubungan kekeluargaan. Namun dalam menyambung tali persaudaraan
tersebut, haruslah dengan memberikan skala prioritas dalam berbuat baik
kepada mereka. Pertama-tama harus dimulai dari yang terdekat, kemudian
yang dekat. Dalam hal ini dimulai dari ibu, bapak, baru kerabat terdekat
lainnya. Disamping itu menyambung tali persaudaraan kepada mereka, dengan tujuan
meningkatkan ketakwaan dan keimanan kita kepada Allah SWT. Sehingga ma n a k a l a k i t a me l i h a t a d a n y a f a k t o r y a n g j u s t r u ‘ me mb a h a y a k a n ’ k e i manan kita, maka kita perlu memberikan batasan dalam menyambung tali
persaudaraan tersebut.

3. Menyambung tali persaudaraan, meskipun terhadap kerabat yang bukan muslim.
Karena pada hakekatnya mereka secara nasab, masih memiliki hubungan
dengan kita. Oleh karena itulah, kita diperintahkan untuk senantiasa berbuat
baik kepada mereka. Dalam sebuah riwayat digambarkan:
Dari Abdillah bin Amru bin Ash ra, aku mendengar Rasulullah SAW dengan suara keras, t i d a k d e n g a n s u a r a p e l a n b e r s a b d a : “ S e s u n g g u h n y a k e l u a r g a A b u F u l a n b u k a n l a h t e r ma s u k ‘ p e n o l o n g k u ’ . K a r e n a p e n p l o n g k u h a n y a l a h A l l a h d a n k a u m mu s l i mi n y a n g shaleh. Namun terhadap mereka aku memiliki kekerabatan yang aku menyambung tali persaudaraan dengan berbuat baik yang layak terhadap mereka. (Mutafaqun Alaih)

4. Memahami hakekat silaturahim dengan makna yang lebih luas
Dalam artian bahwa menyambung silaturahim dengan seluruh kerabat keluarga
kita, tidak hanya dalam skup materi saja, namun juga harus dalam hal-hal yang
lebih luas dari sekedar materi, seperti dengan silaturahim mengunjungi
rumahnya, mempererat hubungan dengan memperdalam rasa cinta, saling
memberikan nasehat, ungkapan-ungkapan yang baik, dan dalam hal-hal positif
lainnya. Dalam sebuah riwayat Rasulullah SAW bersabda:
Da r i i b n u A b b a s r a , R a s u l u l l a h S A W b e r s a b d a “ B e r b u a t b a i k l a h t e r h a d a p k e r a bat kalian, wa l a u p u n s e k e d a r me n g u c a p k a n s a l a m. ” ( H R . A l -Bazar)

5. Menyambung tali persaudaraan, sekalipun terhadap kerabat yang tidak mau menyambungnya.
Sebagai manusia biasa, terkadang terhadap kerabat keluarga sekalipun dapat
terjadi perselisihan yang mengakibatkan retaknya hubungan. Bahkan tidak
jarang, sikap satu pihak terhadap pihak yang lainnya cenderung untuk tidak menegur, tidak menyapa dan tidak mau menyambung lagi talipersaudaraannya. Namun sebagai agama yang penuh dengan nilai-nilai rahmat,
Islam melarang seseorang untuk berbuat seperti itu. Dalam sebuah riwayat dikatakan:
Rasulullah SAW besabda, Bukanlah orang yang (dinamakan) menyambung persaudaraan dengan berupa balasan (menyambung jika kerabat kita menyambungnya). Namun orang yang menyambung persaudaraan adalah yang senantiasa menyambungnya meskipun mereka memutuskan persaudaraannya. (HR.Bukhari)

AKHLAK SEORANG MUSLIM TERHADAP TETANGGA & MASYARAKATNYA.
Tetangga dan masyarakat sekitar tempat kita tinggal merupakan kumpulan
dari manusia-manusia yang terdekat dengan kehidupan kita. Keberadaan mereka
merupakan sesuatu yang sangat penting, apalagi manakala kita mencoba
merenungkan bahwa sesungguhnya Islam merupakan agama sosial. Karena Islam
sangat memperhatikan masalah sosial, serta menjadikan kehidupan sosial sebagai
bagian yang tidak terpisahkan dari ajaran-ajarannya. Oleh karena itulah, kita akan
banyak menemukan, baik dalam Al-Qu r ’ a n ma u p u n d a l a m S u n n a h , a j a r a n –ajaran yang sangat bersinggungan dengan masalah sosial.
Berikut adalah beberapa etika seorang muslim terhadap masyarakat dan tetangganya, diantaranya adalah:
1. Memuliakan tetangganya.
I s l a m b a h k a n me n j a d i k a n ‘ me mu l i a n ’ t e t a n g g a s e b a g a i s a l a h s a t u s y a r a t
u n t u k d a p a t me wj u j u d k a n ‘ k e s e mp u r n a a n i ma n ’ . K a r e n a o r a n g mu s l i m y a n g
memiliki kesempurnaan iman, segala perbuatannya akan
mengimplementasikan nilai-nilai keimanan dalam dirinya, termasuk
diantaranya adalah memuliakan tetangganya. Dalam sebuah hadits,
Rasulullah SAW bersabda:
R a s u l u l l a h S A W b e r s a b d a , “ B a r a n g s i a p a y a n g b e r i ma n k e p a d a A l l a h d a n h a r i k i a ma t , maka hendaklah ia berbuat baik kepada tetangganya, barang siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia memuliakan tamunya, dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia bertutur kata yang baik atau hendaknya ia diam. (Mutafaqun Alaih)

2. Pemaaf dan pemurah terhadap tetangga.
Tetangga kita adalah juga merupakan manusia biasa biasa yang terkadang berbuat kesalahan terhadap kita. Namun sebagai seorang muslim yang baik yang memahami hal ini, akan memiliki rasa pemaaf dan pemurah terhadap mereka. Dalam sebuah riwayat disebutkan:
Rasulullah SAW bersabda, hendaklah seseorang jangan melarang tetangganya ketika
menancapkan sepotong kayu pada dinding (rumahnya) (Mutafaqun Alaih)

3. Mencintai mereka sebagaimana mencintai diri kita sendiri.
Bahkan hal ini sudah menjadi sesuatu yang harus dilakukan terhadap
siapapun yang masih memiliki ikatan akidah yang sama. Dalam sebuah hadits
Rasulullah SAW mengatakan:
Tidak beriman salah seorang diantara kalian, hingga ia mencintai saudaranya sendiri
sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. (Mutafaqun Alaih)
Dan salah satu bentuk kecintaan kita kepada mereka adalah dengan memiliki
kepedulian terhadap sesuatu yang menimpa mereka. Rasulullah SAW
bersabda:
R a s u l u l l a h S A W b e r s a b d a , ‘ T i d a k b e r i ma n s e s e o r a n g k e p a d a k u , s i a p a s a j a y a n g t i d u r dalam keadaan kenyang, sementara tetangga yang berada di sisinya kelaparan dan ia mengetahui hal tersebut. (HR. Tabrani)

4. Berbuat baik kepada tetangga, baik yang muslim atau yang non muslim.
Kendatipun tetangga kita ada yang bukan muslim, namun kita masih memiliki
kewajiban untuk berbuat baik kepada mereka. Dalam sebuah riwayat
digambarkan, bahwa Abdullah bin Amru bin Ash suatu ketika menyembelih
seokor kambing, lalu memberikannya pada tetangganya yang Yahudi. Ketika
d i t a n y a , b e l i a u me n j a wa b a k u me n d e n g a r R a s u l u l l a h SAW b e r s a b d a , ‘ B a h wa Jibril senantiasa memberikan wasiat kepadaku untuk berbuat baik kepada tetangga, sampai aku mengiranya bahwa beliau akan memberikan warisan k e p a d a t e t a n g g a n y a . ” ( HR . B u k h a r i Mu s l i m)

5. Memprioritaskan perbuatan ihsan, terhadap yang terdekat kemudian yang dekat.
Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Aisyah ra ketika bertanya kepada
Rasulullah SAW:81
Da r i A i s y a h r a , b e l i a u b e r t a n y a k e p a d a r a s u l u l l a h S A W, ‘ Wa h a i r a s u l u l l a h , a k u memiliki dua tetangga, kepada yang manakah aku mengirimkan hadiah? Rasulullah menjawab, kepada yang paling dekat pintunya dari umahmu. (HR. Bukhari)

6. Muslim terbaik adalah yang terbaik bagi tetangganya.
Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW mengatakan :
Sebaik-baik tetangga di sisi Allah, adalah sebaik-baik mereka bagi tetangganya. (HR.Bukhari dalam Al-Adab al-Mufrad)
7. Tetangga yang buruk.
Islam bahkan melarang seseorang untuk menjadi tetangga yang tidak baik bagi tetangganya yang lain. Bahkan Rasulullah SAW menyebutkan sebagai seseorang yagn tidak beriman kepada Allah. Rasulullah SAW mengatakan:
R a s u l u l l a h b e r s a b d a “ De mi A l l a h t i d a k b e r i ma n , d e mi A l l a h t i d a k b e r i ma n , d e mi A l l a h t i d a k b e r i ma n ” , k e mu d i a n d i t a n y a k a n s i a p a wa h a i r a s u l u l l a h ? B e l i a u me n j a wa b , y a n g tidak memberikan rasa aman pada tetangganya dari kejelekan-k e j e l e k a n d i r i n y a . ” (Mutafaqun Alaih)

8. Menjaga untuk tidak terjerumus pada perbuatan salah terhadap tetangganya.
Karena kesalahan yang paling besar adalah kesalahan yang dilakukan
seseorang terhadap tetangganya. Dalam sebuah hadtis disebutkan
Rasulullah bersabda, bahwa zinanya seseorang terhadap sepuluh wanita, itu lebih
ringan dari pada zinanya seseorang terhadap wanita tetangganya. (HR. Ahmad)

9. Sabar terhadap keburukan tetangga dan masyarakatnya.
Karena bagaimanapun juga, tidak semua orang memiliki sifat yang baik.
Adakalanya kita harus berhadapan dengan tetangga yang buruk perangainya,
atau senantiasa berbuat kemaksiatan kepada Allah SWT. Mengenai hal ini,
Rasulullah SAW mengatakan kepada kita:
R a s u l u l l a h S A W b e r s a b d a , “ S e o r a n g mu ’ mi n y a n g b e r i n t e r a k s i d e n g a n ma s y a r a k a t n y a d a n b e r s a b a r a t a s k e b u r u k a n me r e k a , l e b i h b a i k d a r i p a d a s e o r a n g mu ’ mi n y a n g t i d a k berinteraksi dengan mereka serta tidak sabar atas keburukan mereka. (HR. Tabrani)

10. Tidak membalas kejelekan tetangganya dengan yang serupa
Karena pada dasarnya Islam tidak mengizinkan untuk berbuat buruk kepada
orang yang juga berbuat buruk kepada kita. Kita justru diminta untuk
senantiasa tetap berbuat baik kepada mereka meskipun mereka terkadang
tidak baik terhadap kita. Dalam sebuah hadits digambarkan:
Suatu ketika Abdullah bin Salam ra mendatangi Rasulullah SAW lalu berkata, wahai rasulullah, sesungguhnya tetanggaku menyakitiku. Rasulullah SAW bersabda, bersabarlah. Kemudian beliau pulang, lalu kembali pada Rasulullah SAW untuk kedua kalinya dan berkata, wahai Rasulullah SAW. Tetanggaku menuyakitiku. Rasulullah SAW menjawab, bersabarlah. Kemudian ia pulang lalu kembali mendatangi Rasulullah SAW untuk yang ketiga kalinya, dan berkata, wahai Rasulullah SAW, tetanggaku menyakitiku. Beliau menjawab, kalau demikian peganglah barang-barangmu, lalu lemparkan ke jalan. Dan apabila ada seseorang yang mendatagimu, katakalnlah
(bahwa hal ini dilakukan) karena tetanggaku menyakitiku, hingga ia akan mendapatkan laknat. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir hendaklah ia memuliakan tetagganya. (Hayatus Shahabah III/50)
PENUTUP
Pada dasarnya, ketika kita ingin mengupas secara lebih teliti mengenai etika
atau akhlak dalam Islam, kita akan mendapatkan, betapa Islam merupakan agama
yang penuh dengan nilai-nilai budi pekerti yang mulia. Karena memang Islam
diturunkan oleh Allah adalah untuk memperbaiki tatanan moralitas yang telah
rusak yang terjadi pada masyarakat dunia. Rasulullah SAW sendiri mengatakan
bahwa beliau diutus dalam rangka untuk memperbaiki budi pekerti atau akhlak
masyarakat dunia, dari kondisi yang buruk menjadi kondisi yang baik. Adapun
gambaran mengenai akhlak dan etika di atas, barulah merupakan sekelumit ajaran
Islam mengenai tatacara berakhlak, baik terhadap Allah ataupun terhadap manusia
lainnya.
Namun ketika kita mempelajari akhlak islami, bukanlah semata-mata hanya
sebagai bahan atau obyek dalam bidang keilmuan. Namun lebih dari itu, bahwa
akhlak haruslah merupakan sesuatu yang mengakar dan tertancap dalam jiwa
setiap muslim. Sehingga dimanapun ia berada, senantiasa mencerminkan sebagai
seorang muslim sejati, kendatipun ia hidup ditengah-tengah masyarakat jahiliyah.
Wa l l a h u A ’ l a m B i s S h a wa b

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More